Lama tak merasakan langsung sentuhan embun pagi di kaki gunung. Menempa diri pada tepukan daun-daun basah dan dzikir perdu yang rindu akan mentari. Menepi diantara pepohonan, menikmati bertafakur pada sehelai bifak sederhana. Cahaya lilin sudahlah teramat terang, maka jika hujan datang dan seluruh nyala sirna, semua rasanya biasa saja. Hening, anggun dan sakral.
Berhadapan dengan-MU, kapan dan dimanapun aku adalah kepastian. Tapi di tempat yang luas-dimana rasanya aku melihat seluruh mayapada-, aku seperti begitu dekat dengan-Mu. Seperti dekat, terdekap, dalam kasih sayang-Mu yang tak berbatas. Dan tetes air mataku tentu saja bersama dzikir dan istighfar tak putus.
Sudah lama memang, tak menyatu aku dengan tanah, pepohonan, dan suara burung di malam hari. Menemani cengkerik yang bermain. Menggenapinya dengan tilawah di keheningan malam. Di bawah mihrab langit-Mu, tertunduk aku. Menyungkurkan seluruh tubuhku, bersujud, mencium tanah-Mu, pasrah, kecil, tak berarti.
Di bawah mihrab langit-Mu. Bersama kerlip bintang, atau mungkin gelap langit malam bersama rintik hujan, aku seperti menyatu dengan mereka, berdzikir.
Bukit berjajar abu-abu samar di balik pekat malam. Kembali aku sujudkan keningku bersentuhan langsung dengan tanah-Mu, dingin, lembut, anggun, dan sakral.
Tak terasa biasanya perjalanan panjang yang kutempuh, tak ada peluh. Hanya ada tetes dzikir, dan desah ketundukan.
Berhadapan dengan-MU, kapan dan dimanapun aku adalah kepastian. Tapi di tempat yang luas-dimana rasanya aku melihat seluruh mayapada-, aku seperti begitu dekat dengan-Mu. Seperti dekat, terdekap, dalam kasih sayang-Mu yang tak berbatas. Dan tetes air mataku tentu saja bersama dzikir dan istighfar tak putus.
Sudah lama memang, tak menyatu aku dengan tanah, pepohonan, dan suara burung di malam hari. Menemani cengkerik yang bermain. Menggenapinya dengan tilawah di keheningan malam. Di bawah mihrab langit-Mu, tertunduk aku. Menyungkurkan seluruh tubuhku, bersujud, mencium tanah-Mu, pasrah, kecil, tak berarti.
Di bawah mihrab langit-Mu. Bersama kerlip bintang, atau mungkin gelap langit malam bersama rintik hujan, aku seperti menyatu dengan mereka, berdzikir.
Bukit berjajar abu-abu samar di balik pekat malam. Kembali aku sujudkan keningku bersentuhan langsung dengan tanah-Mu, dingin, lembut, anggun, dan sakral.
Tak terasa biasanya perjalanan panjang yang kutempuh, tak ada peluh. Hanya ada tetes dzikir, dan desah ketundukan.
Komentar