Langsung ke konten utama

Postingan

Memahami Mendung

Langit muram. Awan awan menghitam bergelantungan. Mereka membawa air hujan angy akan terjun menyapa bumi, menyuburkan, menghidupkan. Namun hujan di sini hadir bersama jutaan kekhawatiran. Jika air tumpah cukup banyak, sementara bumi tak mampu menyerap karena hutan semakin sempit, sampah menggunung, dan infrastructure tak siap, maka hujan akan mengundang banjir. Segelap apapun mendung, ia adalah harapan.  Harapan bahwa hujan akan turun. Harapan bahwa setelah hujan akan ada cahaya terang. Mendung, hujan, Dan panas. 
Postingan terbaru

Waktu dan Tahun Baru

Terkadang kita merasa bisa menandai waktu dan mengaturnya.  Seperti misalnya menandai Hari, Minggu, Bulan, dan Tahun.  Hingga setiap pergantiannya seolah-olah memberikan sesuatu yang berbeda.  Seperti hari ini, mungkin banyak yang sedang bersiap menyambut pergantian tahun dari Tahun 2019 ke Tahun 2020. Sadar atau tidak, sesungguhnya kita tak pernah benar-benar bisa mengatur waktu.  Kita hanya hidup dalam waktu itu.  Waktu terus berjalan setiap detiknya tanpa bisa kita hentikan.  Hari akan terus berganti satu hari demi satu hari, melewati bulan dan melewati tahun.  Tanda pergantian hari, minggu, bulan, bahkan tahun hanyalah catatan-catatan yang membantu kita hidup dalam waktu. Maka pergantian tahun tampaknya lebih tepat dinilai sebagai penanda, bahwa sudah saatnya detik-detik yang kita lewati dilihat kembali.  Apa sebenarnya yang sudah kita lakukan, baik atau buruk, manfaat atau tidak bermanfaat.  Berapakalipun tahun berganti, ia hanyalah satu detik yang beranjak dari detik berik

Dinginpun bersujud bersamaku

Lama tak merasakan langsung sentuhan embun pagi di kaki gunung. Menempa diri pada tepukan daun-daun basah dan dzikir perdu yang rindu akan mentari. Menepi diantara pepohonan, menikmati bertafakur pada sehelai bifak sederhana. Cahaya lilin sudahlah teramat terang, maka jika hujan datang dan seluruh nyala sirna, semua rasanya biasa saja. Hening, anggun dan sakral. Berhadapan dengan-MU, kapan dan dimanapun aku adalah kepastian. Tapi di tempat yang luas-dimana rasanya aku melihat seluruh mayapada-, aku seperti begitu dekat dengan-Mu. Seperti dekat, terdekap, dalam kasih sayang-Mu yang tak berbatas. Dan tetes air mataku tentu saja bersama dzikir dan istighfar tak putus. Sudah lama memang, tak menyatu aku dengan tanah, pepohonan, dan suara burung di malam hari. Menemani cengkerik yang bermain. Menggenapinya dengan tilawah di keheningan malam. Di bawah mihrab langit-Mu, tertunduk aku. Menyungkurkan seluruh tubuhku, bersujud, mencium tanah-Mu, pasrah, kecil, tak berarti. Di bawah mihr

Siang

Matahari bersembunyi, nafasku tersengal. Bukan karena aku berlari, dadaku sesak. Ada permusuhan, ada yang saling menghujat, ada yang saling merasa benar. Ah, begitu tidak indah jadinya bumi ini, begitu sempit rasanya

Do'a : Melawan Keterbatasan

...Jarak selalu memperlakukan rindu kita seperti ini... Aku tak pernah tahu, saat kutitipkan pesan itu pada angin yang merangkak melewati butiran hujan apakah sampai kepadamu. Aku hanya tahu, do'a-do'a yang kupanjatkan membuatnya lebih baik. Sebab aku dan kau sama-sama tahu, ini bukan semata-mata tentang kita, tapi tentang-Nya tentu saja. Seperti biasa, kita akan mentafakuri ketidakberdayaan kita sebagai manusia ini. Jarak, waktu, rindu, cinta, semesta raya, berada di luar jangkauan dua tangan kita yang rapuh dan langkah kaki kita yang terbatas. Ya, kita memang penuh keterbatasan. Dan untuk merengkuh semua hal di luar keterbatasan itu, maka kita butuh ketidakterbatasan. Sedangkan ketidakterbatasan hanyalah milik-Nya. Tapi kita punya caranya, kita telah diberi kuncinya. Cara dan kunci itu bernama: Do'a. Do'a adalah senjata kita yang mampu menembus segala keterbatasan. Do'a yang akan merengkuh semua hal di luar yang terbatas. Seperti itu pula jarak, rindu, dan

Semesta : Rumah Kita

Rumah, ruang, tempat tinggal, kamar, atau apapun itu adalah tempat kita 'merasa' berada di dalam dan 'berkuasa'. Tak sedikit manusia menghabiskan anggarannya 'hanya' untuk meninggikan rumah miliknya, mempercantik kamar, ruang, atau bahkan mungkin kamar mandi. Maka, tanpa disadari, tiba-tiba menjadilah 'diri' sebenarnya sedang mulai 'tertawan' dalam ruang, kamar, rumah, kamar mandi, atau apapun itu. Maka perlahan, menjauhlah semesta, langit, bumi, gunung, hutan, bintang, dan hujan seolah berada di sisi yang lain, di tepi yang lain, di 'luar' rumah, ruang, kamar, atau apapun itu namanya. Bukankah kita perlu merasa bahwa rumah, rung, kamar mandi, dan tempat kita berdiri, berpijak, duduk, jongkok, bersembunyi, adalah bagian semesta raya. Kita tetaplah tinggal di bawah langit dan di atas bumi. Rasa 'kemenyatuan' ini perlu dibangun, agar kita tak lagi merasa di tepi yang lain dari kolong langit dan hamparan bumi. Kita perlu selalu

Jejak Kaki

Setiap kali waktu menunjukkan rasa lapar, atau resah karena perut berderit memanggil. Maka di antara lorong kantor yang hening, ada jejak kaki melangkah menawarkan pertolongan. Lebih dua puluh lima kilo makanan di 'sunggi' di atas kepalanya. Aku memanggilnya 'yu ne'. Sejenak ia akan berhenti di depan pintu ruangan, menurunkan bebannya, dan dengan cekatan mengambil plastik untuk bungkus makanan yang kubeli. Sesekali bercerita tentang kehidupannya yang keras, atau suaminya yang tak bekerja. Lebih dari itu, kaki yang terlalu sering tak beralas itu memang tampak sudah mengalami asam garam kehidupan. Aku sering bertanya tentang perkembangan anak kecil, atau sekedar bertanya ramuan tradisional untuk bayi yang sedang sakit. Ia menjawab dengan semangat dan gembira. Seiap dia datang, setiap dia pergi, aku seperti diingatkan untuk bersyukur, atas hidupku, dan tentu saja seperti diingatkan untuk mendoakannya, dalam langkah yang tentu akan tergerus zaman. Yu ne, semoga '