Langsung ke konten utama

Waktu dan Tahun Baru

Terkadang kita merasa bisa menandai waktu dan mengaturnya.  Seperti misalnya menandai Hari, Minggu, Bulan, dan Tahun.  Hingga setiap pergantiannya seolah-olah memberikan sesuatu yang berbeda.  Seperti hari ini, mungkin banyak yang sedang bersiap menyambut pergantian tahun dari Tahun 2019 ke Tahun 2020.
Sadar atau tidak, sesungguhnya kita tak pernah benar-benar bisa mengatur waktu.  Kita hanya hidup dalam waktu itu.  Waktu terus berjalan setiap detiknya tanpa bisa kita hentikan.  Hari akan terus berganti satu hari demi satu hari, melewati bulan dan melewati tahun.  Tanda pergantian hari, minggu, bulan, bahkan tahun hanyalah catatan-catatan yang membantu kita hidup dalam waktu.

Maka pergantian tahun tampaknya lebih tepat dinilai sebagai penanda, bahwa sudah saatnya detik-detik yang kita lewati dilihat kembali.  Apa sebenarnya yang sudah kita lakukan, baik atau buruk, manfaat atau tidak bermanfaat.  Berapakalipun tahun berganti, ia hanyalah satu detik yang beranjak dari detik berikutnya.  Semuanya tak akan berarti apa-apa jika kita tak melakukan perubahan setiap aktivitas dalam waktu itu.  Ia akan terus berjalan, bahkan hingga suatu saat yang kita tidak bisa mengikutinya lagi

Tapi bagaimanapun, penanda itu sesekali perlu juga.  Selamat pergantian detik, selamat merenung.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memahami Mendung

Langit muram. Awan awan menghitam bergelantungan. Mereka membawa air hujan angy akan terjun menyapa bumi, menyuburkan, menghidupkan. Namun hujan di sini hadir bersama jutaan kekhawatiran. Jika air tumpah cukup banyak, sementara bumi tak mampu menyerap karena hutan semakin sempit, sampah menggunung, dan infrastructure tak siap, maka hujan akan mengundang banjir. Segelap apapun mendung, ia adalah harapan.  Harapan bahwa hujan akan turun. Harapan bahwa setelah hujan akan ada cahaya terang. Mendung, hujan, Dan panas. 

Siang

Matahari bersembunyi, nafasku tersengal. Bukan karena aku berlari, dadaku sesak. Ada permusuhan, ada yang saling menghujat, ada yang saling merasa benar. Ah, begitu tidak indah jadinya bumi ini, begitu sempit rasanya

Dinginpun bersujud bersamaku

Lama tak merasakan langsung sentuhan embun pagi di kaki gunung. Menempa diri pada tepukan daun-daun basah dan dzikir perdu yang rindu akan mentari. Menepi diantara pepohonan, menikmati bertafakur pada sehelai bifak sederhana. Cahaya lilin sudahlah teramat terang, maka jika hujan datang dan seluruh nyala sirna, semua rasanya biasa saja. Hening, anggun dan sakral. Berhadapan dengan-MU, kapan dan dimanapun aku adalah kepastian. Tapi di tempat yang luas-dimana rasanya aku melihat seluruh mayapada-, aku seperti begitu dekat dengan-Mu. Seperti dekat, terdekap, dalam kasih sayang-Mu yang tak berbatas. Dan tetes air mataku tentu saja bersama dzikir dan istighfar tak putus. Sudah lama memang, tak menyatu aku dengan tanah, pepohonan, dan suara burung di malam hari. Menemani cengkerik yang bermain. Menggenapinya dengan tilawah di keheningan malam. Di bawah mihrab langit-Mu, tertunduk aku. Menyungkurkan seluruh tubuhku, bersujud, mencium tanah-Mu, pasrah, kecil, tak berarti. Di bawah mihr