Langsung ke konten utama

Semesta : Rumah Kita


Rumah, ruang, tempat tinggal, kamar, atau apapun itu adalah tempat kita 'merasa' berada di dalam dan 'berkuasa'. Tak sedikit manusia menghabiskan anggarannya 'hanya' untuk meninggikan rumah miliknya, mempercantik kamar, ruang, atau bahkan mungkin kamar mandi. Maka, tanpa disadari, tiba-tiba menjadilah 'diri' sebenarnya sedang mulai 'tertawan' dalam ruang, kamar, rumah, kamar mandi, atau apapun itu. Maka perlahan, menjauhlah semesta, langit, bumi, gunung, hutan, bintang, dan hujan seolah berada di sisi yang lain, di tepi yang lain, di 'luar' rumah, ruang, kamar, atau apapun itu namanya.
Bukankah kita perlu merasa bahwa rumah, rung, kamar mandi, dan tempat kita berdiri, berpijak, duduk, jongkok, bersembunyi, adalah bagian semesta raya. Kita tetaplah tinggal di bawah langit dan di atas bumi. Rasa 'kemenyatuan' ini perlu dibangun, agar kita tak lagi merasa di tepi yang lain dari kolong langit dan hamparan bumi. Kita perlu selalu merasa menjadi satu dengan mereka, sama-sama yang diciptakan-Nya.
Semoga dengan begitu, mengalirlah cinta tanpa syarat untuk semesta, ya, sebab semesta ini adalah rumah kita

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memahami Mendung

Langit muram. Awan awan menghitam bergelantungan. Mereka membawa air hujan angy akan terjun menyapa bumi, menyuburkan, menghidupkan. Namun hujan di sini hadir bersama jutaan kekhawatiran. Jika air tumpah cukup banyak, sementara bumi tak mampu menyerap karena hutan semakin sempit, sampah menggunung, dan infrastructure tak siap, maka hujan akan mengundang banjir. Segelap apapun mendung, ia adalah harapan.  Harapan bahwa hujan akan turun. Harapan bahwa setelah hujan akan ada cahaya terang. Mendung, hujan, Dan panas. 

Siang

Matahari bersembunyi, nafasku tersengal. Bukan karena aku berlari, dadaku sesak. Ada permusuhan, ada yang saling menghujat, ada yang saling merasa benar. Ah, begitu tidak indah jadinya bumi ini, begitu sempit rasanya

Dinginpun bersujud bersamaku

Lama tak merasakan langsung sentuhan embun pagi di kaki gunung. Menempa diri pada tepukan daun-daun basah dan dzikir perdu yang rindu akan mentari. Menepi diantara pepohonan, menikmati bertafakur pada sehelai bifak sederhana. Cahaya lilin sudahlah teramat terang, maka jika hujan datang dan seluruh nyala sirna, semua rasanya biasa saja. Hening, anggun dan sakral. Berhadapan dengan-MU, kapan dan dimanapun aku adalah kepastian. Tapi di tempat yang luas-dimana rasanya aku melihat seluruh mayapada-, aku seperti begitu dekat dengan-Mu. Seperti dekat, terdekap, dalam kasih sayang-Mu yang tak berbatas. Dan tetes air mataku tentu saja bersama dzikir dan istighfar tak putus. Sudah lama memang, tak menyatu aku dengan tanah, pepohonan, dan suara burung di malam hari. Menemani cengkerik yang bermain. Menggenapinya dengan tilawah di keheningan malam. Di bawah mihrab langit-Mu, tertunduk aku. Menyungkurkan seluruh tubuhku, bersujud, mencium tanah-Mu, pasrah, kecil, tak berarti. Di bawah mihr