Langsung ke konten utama

Do'a : Melawan Keterbatasan

...Jarak selalu memperlakukan rindu kita seperti ini...

Aku tak pernah tahu, saat kutitipkan pesan itu pada angin yang merangkak melewati butiran hujan apakah sampai kepadamu. Aku hanya tahu, do'a-do'a yang kupanjatkan membuatnya lebih baik. Sebab aku dan kau sama-sama tahu, ini bukan semata-mata tentang kita, tapi tentang-Nya tentu saja.
Seperti biasa, kita akan mentafakuri ketidakberdayaan kita sebagai manusia ini. Jarak, waktu, rindu, cinta, semesta raya, berada di luar jangkauan dua tangan kita yang rapuh dan langkah kaki kita yang terbatas.
Ya, kita memang penuh keterbatasan. Dan untuk merengkuh semua hal di luar keterbatasan itu, maka kita butuh ketidakterbatasan. Sedangkan ketidakterbatasan hanyalah milik-Nya. Tapi kita punya caranya, kita telah diberi kuncinya. Cara dan kunci itu bernama: Do'a. Do'a adalah senjata kita yang mampu menembus segala keterbatasan. Do'a yang akan merengkuh semua hal di luar yang terbatas.
Seperti itu pula jarak, rindu, dan cinta
kita bisa merengkuhnya dengan do'a

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memahami Mendung

Langit muram. Awan awan menghitam bergelantungan. Mereka membawa air hujan angy akan terjun menyapa bumi, menyuburkan, menghidupkan. Namun hujan di sini hadir bersama jutaan kekhawatiran. Jika air tumpah cukup banyak, sementara bumi tak mampu menyerap karena hutan semakin sempit, sampah menggunung, dan infrastructure tak siap, maka hujan akan mengundang banjir. Segelap apapun mendung, ia adalah harapan.  Harapan bahwa hujan akan turun. Harapan bahwa setelah hujan akan ada cahaya terang. Mendung, hujan, Dan panas. 

Siang

Matahari bersembunyi, nafasku tersengal. Bukan karena aku berlari, dadaku sesak. Ada permusuhan, ada yang saling menghujat, ada yang saling merasa benar. Ah, begitu tidak indah jadinya bumi ini, begitu sempit rasanya

Dinginpun bersujud bersamaku

Lama tak merasakan langsung sentuhan embun pagi di kaki gunung. Menempa diri pada tepukan daun-daun basah dan dzikir perdu yang rindu akan mentari. Menepi diantara pepohonan, menikmati bertafakur pada sehelai bifak sederhana. Cahaya lilin sudahlah teramat terang, maka jika hujan datang dan seluruh nyala sirna, semua rasanya biasa saja. Hening, anggun dan sakral. Berhadapan dengan-MU, kapan dan dimanapun aku adalah kepastian. Tapi di tempat yang luas-dimana rasanya aku melihat seluruh mayapada-, aku seperti begitu dekat dengan-Mu. Seperti dekat, terdekap, dalam kasih sayang-Mu yang tak berbatas. Dan tetes air mataku tentu saja bersama dzikir dan istighfar tak putus. Sudah lama memang, tak menyatu aku dengan tanah, pepohonan, dan suara burung di malam hari. Menemani cengkerik yang bermain. Menggenapinya dengan tilawah di keheningan malam. Di bawah mihrab langit-Mu, tertunduk aku. Menyungkurkan seluruh tubuhku, bersujud, mencium tanah-Mu, pasrah, kecil, tak berarti. Di bawah mihr